Salah satu masalah utama yang di hadapi Indonesia saat ini adalah masalah stunting kalo bahasa aceh 'enak dibilang' adalah Prient (umu katuha tapi bentuk tuboh mantong lage aneuk meit). Stunting adalah kondisi gagal tumbuh
pada anak balita atau bayi yang berusia di bawah lima tahun, sebagai
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlahir pendek.
Data Global Nutrition Report 2016 mencatat jumlah balita stunting sebanyak 36,4 persen dari seluruh balita di Indonesia. Stunting mencerminkan
kekurangan gizi kronis selama periode paling awal pertumbuhan dan
perkembangan anak. Umumnya bagi seorang anak yang mengalami kurang gizi
kronis, proporsi tubuh akan tampak normal, namun kenyataannya lebih
pendek dari tinggi badan normal untuk anak-anak seusianya.
Selama ini pemerintah sedang bekerja keras untuk menangani masalah stunting. Hal ini terbukti dengan gaung "Cegah Stunting"yang
belakangan sangat sering terdengar di masyarakat. Untuk mewujudkannya,
maka pemerintah telah memulai langkah yang baik melalui penggunaan dana
desa untuk penceggahan terhadap stunting.
Pencegahan
terhadap stunting tertuang dengan jelas dalam Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018
tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 Pasal 6 ayat 1 dan 2.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan dalam proses pencegahan stunting. Kegiatannya meliputi
penyediaan air bersih dan sanitasi, pemberian makanan tambahan dan
bergizi untuk balita, pengembangan ketahanan pangan dan lain sebagainya.
Maka sudah selayak nya pak Geuchik selaku pemimpin ditingkat desa memperhatikan dengan serius tentang penyakit pada anak ini. Selama ini perhatian kita masih sangat kurang dan upaya nya pun masih dibawah sederhana. Masih banyak diantara kita masih sedikit memberi alokasian dana untuk mencegah penyakit ini.
Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemdes PDTT) mengizinkan penggunaan dana desa untuk mengatasi stunting. Dana tersebut bisa digunakan untuk melakukan intervensi gizi dan mendatangkan bidan. Dana desa juga bisa dimanfaatkan untuk penyediaan air bersih dan perbaikan sanitasi untuk mencegah infeksi pada bayi yang dapat memicu stunting.
Dalam menangani stunting, lanjutnya, hal yang paling penting dilakukan adalah mengedukasi masyarakat desa bahwa bayinya berpotensi menderita stunting. Oleh karena itu pemerintah berusaha membangun kesadaran warga desa untuk bersama-sama mengatasinya.
Data Kemdes PDTT menunjukkan, desa-desa yang memiliki penderita stunting
dalam jumlah besar, pada umumnya tak memiliki infrastruktur memadai,
seperti air bersih dan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK). Dengan
jumlah dana desa minimal Rp 700 jutaan tahun ini, perbaikan sanitasi dan penyediaan
air bersih, bisa diprioritaskan. Selain itu, dana desa bisa dimanfaatkan
untuk membiayai transportasi ibu hamil saat memeriksakan diri ke
puskesmas atau puskesmas pembantu.
Dan ini menjadi masalah besar terutama bagi desa desa yang memiliki tingkat pra sejahtera yang masih tinggi. Selama pemantauan kami dilapangan masih banyak warga gampong yang belum memiliki WC sendiri yang layak mereka masih menggunakan WC umum masjid/meunasah bahkan masih ada yang nekat menggunakan "WCT (WC Terbang)" Bek nak han Nak blo Susu ngen peuget WC hana peng.
ALLAHULMUSTA"AN